Nganjuk | Analisajatim.id,- Ngopi yang seharusnya asyik dan santai bisa berubah menjadi aktivitas penuh risiko kalau ngopinya di Jalan Ahmad Yani, Nganjuk. Sebab, kawasan tersebut kerap menjadi arena bentrok antarperguruan silat. Yang paling sering misalnya PSHT vs Pagar Nusa.
Slogan ngopi ae ben gak resiko (ngopi aja biar tidak risiko) sepertinya tidak cocok kalau diterapkan di Nganjuk. Sebab, ngopi di Nganjuk, khususnya di Jalan Ahmad Yani, benar-benar penuh risiko.
Bagaimana tidak. Jalan Ahmad Yani pada dasarnya menyuguhkan banyak pilihan tempat ngopi. Baik warung kopi maupun angkringan. Namun, kerusuhan antara PSHT vs Pagar Nusa juga menjadi sajian yang tentu saja bikin suasana ngopi yang seharusnya santai, malah berubah mencekam.
Waktu itu saya sedang ngopi di angkringan milik teman saya di Jalan Ahmad Yani, Nganjuk. Panggil saja Dandi* (20), bukan nama asli. Selain untuk ngopi, saya memang bermaksud ngobrol banyak dengannya karena sudah lama kami tak bersua. Kami pun srawung hingga hampir tengah malam.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba saja dari kejauhan muncul beberapa kelompok orang yang mengendarai motor sambil bleyer-bleyer. Mereka berteriak, misuh-misuh, dan melakukan aksi-aksi provokatif lain.
Yang mengagetkan, beriringan dengan munculnya sekelompok pengendara motor tersebut, tiba-tiba sekelompok orang yang semula ngopi di angkringan sebelah angkringan Dandi berlari berhamburan. Mereka mengejar para pengendara motor tersebut dengan melempar batu. Tak lama kemudian, bentrok pun tak terhindarkan.
Beruntung saya selamat. Baru saya tahu kemudian, kalau ternyata bentrokan tadi sudah terencana. Para pengendara motor adalah anak-anak dari perguruan silat Pagar Nusa. Sementara orang-orang yang berhamburan dari angkringan dari PSHT. Mereka memang sedang bersiap untuk saling luruk/labrak.
Jalan Ahmad Yani Nganjuk: gelanggang bentrok PSHT vs Pagar Nusa
Dandi sebagai pemilik angkringan mengungkapkan bahwa biang perseteruan di Jalan Ahmad Yani adalah para oknum pesilat yang fanatik. Lebih sering dari kalangan PSHT dan Pagar Nusa.
Hal itu ia ketahui sendiri dari hasil pembicaraan dengan salah satu pengunjungnya yang merupakan bagian dari kelompok pesilat tersebut. Pun ia sendiri juga sudah tak terhitung berjualan di tengah-tengah bentrok antarperguruan silat tersebut.
“Biasanya di kaosnya (oknum pesilat yang bentrok) ada tulisan Gashak, Shorenk, Ligas, macam-macam lah,” beber Dandi saat Mojok wawancarai pada Senin (22/7/2024) malam WIB.
Dandi awalnya mengira itu adalah nama sebuah geng. Namun ketika ia mendengar cerita dari orang lain, ia baru mengetahui bahwa itu merupakan nama komunitas pesilat di PSHT dan Pagar Nusa.
Gashak dan Shorenk adalah nama komunitas fanatik PSHT. Sementara Ligas adalah nama komunitas fanatik Pagar Nusa.
“Tapi nggak semua pakai (atribut). Beberapa memang pakai, beberapa yang lain pakai hoodie. Mungkin biar nggak ketahuan (wajahnya),” imbuhnya.
Mirisnya, kebanyakan dari mereka yang bentrokan adalah remaja yang masih sekolah. Hal ini seperti yang sudah Dandi pastikan dari pengunjung angkringannya yang merupakan bagian dari salah satu perguruan silat tersebut. Bedanya, pengunjung Dandi itu sebenarnya sangat tidak sepakat dengan tindakan-tindakan anarkis.
Dandi menuturkan, bentrok PSHT vs Pagar Nusa di Jalan Ahmad Yani Nganjuk memang sudah biasa terjadi. Dalam seminggu bisa dua sampai tiga kali bentrok. Meski kadang bisa juga tidak sama sekali.
“Pernah waktu itu aku lagi jaga angkringan. Kebetulan juga ada pengunjung. Tiba-tiba bentrokan, batu-batu terbang kena angkringan saya,” ungkap penjaga angkringan itu.
Akibatnya, Dandi terpaksa tutup lebih awal. Padahal, biasanya–jika situasi adem ayem–ia baru akan menutup angkringannya lewat tengah malam.
Alhasil, ia harus kehilangan banyak pelanggan. Bagaimanapun juga, kalau sudah terjadi bentrok, hal pertama ia lakukan adalah menyelamatkan sumber uangnya: angkringan. Ora risiko, Rek!
“Kalau bentrokannya, biasanya jam sepuluh malam ke atas,” sambungnya.
Jadi korban salah sasaran
Dandi bercerita, salah satu temannya pernah menjadi korban salah sasaran bentrokan antara PSHT vs Pagar Nusa di Jalan Ahmad Yani, Nganjuk. Kejadian itu bermula saat temannya sedang ngopi di angkringannya dan duduk tepat di pinggiran trotoar.
“Jadi temanku itu pernah kena lemparan batu, pas kena muka,” tuturnya. Tentu bonyok lah muka teman Dandi tersebut.
Cerita serupa Mojok dapat dari Bayu (20). Saat itu Bayu baru tiba dari Madiun setelah menempuh perjalanan motor kurang lebih 45 menit.
Saat melintas di Jalan Ahmad Yani, Nganjuk, ia sengaja berhenti untuk mencari makan. Perutnya sudah terasa keroncongan. Tanpa ia sangka, ia malah kena sergap oleh sekelompok pesilat.
“Waktu itu aku lagi nyari nasi pecel di pertigaan depan Taman Nyawiji. Pas di jalan dihadang oleh pesilat,” kenang Bayu.
Para pengroyok tersebut berasal dari PSHT. Mereka mengira Bayu adalah salah satu bagian dari komunitas musuh (Pagar Nusa). Karena Bayu mengenakan hoodie hitam yang memang kerap dipakai oleh oknum pesilat Pagar Nusa yang sering terlibat bentrok.
Bayu berusaha menjelaskan kalau mereka salah sasaran. Namun, belum tuntas ia menjelaskan, pukulan sudah mendarat di pipinya. Untungnya, Bayu punya cukup energi untuk segera keluar dari pengroyokan. Dengan cepat ia memacu motornya untuk kabur sejauh-jauhnya
Ingin ada pengawasan dari pihak kepolisian
Dandi menuturkan, bentrokan kerap terjadi di Jalan Ahmad Yani, Nganjuk, karena tidak ada polisi yang berjaga di atas jam sebelas malam.
“Paling cuma polisi yang patroli naik mobil, kalau yang berjaga di sepanjang Jalan A. Yani setahuku nggak ada,” beber Dandi.
Dari yang Dandi tahu dari beberapa orang, sebenarnya sudah ada intelijen polisi yang berjaga dengan menyamar sebagai pengunjung di salah satu angkringan. Biasanya, mereka menampakkan diri jika sudah ada tanda-tanda bentrokan akan terjadi.
Namun, Dandi berharap ada polisi (non intelijen) yang selalu berjaga di sekitaran Jalan Ahmad Yani. Karena dengan melihat seseorang berseragam polisi (atau paling tidak Satpol PP), siapa tahu para oknum pesilat (dari PSHT dan Pagar Nusa) yang hendak bentrok kemudian urung karena jiper lebih dulu.
Sementara yang Dandi alami malah terbilang agak menggelitik. Sebab, alih-alih siaga untuk mengantisipasi bentrokan, Satpol PP yang bertugas justru menegur Dandi agar tidak berjualan di sekitaran Jalan Ahmad Yani, Nganjuk, demi terhindar dari bentrokan.
“Tapi aku memilih untuk tetap berjualan. Karena ya mau gimana lagi, buat kebutuhan hidup, beli rokok, uang dari mana?,” tandasnya.
Dandi berharap betul bentrokan antar pesilat–khususnya PSHT vs Pagar Nusa–di Nganjuk bisa mereda sama sekali. Agar ia bisa jualan dengan tenang. Agar rupiah yang ia dapat bisa banyak. Karena angkringan itulah sumber penghidupan Dandi. Setidaknya sampai nanti ia bisa mendapatkan pekerjaan lain.
Di sisi lain, pihak Kepolisian Nganjuk sebenarnya tidak tinggal diam: mencoba menuntaskan masalah dari akarnya. Misalnya pada 2023 lalu, Polres Nganjuk tengah giat-giatnya menggalakkan program SOKO GURU (Sowan dan Komunikasi dengan Tokoh Perguruan Silat).
Program tersebut menggandeng guru silat dan seluruh elemen masyarakat untuk menjaga kondusivitas di Nganjuk yang kerap jadi arena bentrok antarperguruan silat. Hanya saja, memang butuh kedewasaan dari para pesilat tersebut agar konflik atas nama gengsi dan fanatisme tersebut berakhir(*)
Subscribe to Updates
Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.
Risiko Bonyok Akibat Bentrok Rutinan Oknum PSHT vs Pagar Nusa
Advertisements
Advertisements
Advertisements
Advertisements
Advertisements
Advertisements
Advertisements
Advertisements
Advertisements