
Jakarta|Analisajatim.id,- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT), yang saat ini dinaungi oleh Menteri Abdul Halim Iskandar, terus menjadi sorotan publik dan media nasional karena serangkaian polemik dan kontroversi yang mengiringi langkahnya. Publik seakan disuguhi drama politik yang penuh intrik dan pertanyaan.
Salah satu isu yang memanas adalah penggunaan kop surat kementerian yang menuai kritik karena dianggap tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pernyataan kontroversial Menteri Yandri Susanto, yang menjabat sebelum Abdul Halim Iskandar, tentang wartawan bodrek yang memeras kepala desa juga turut menambah daftar panjang polemik yang melibatkan kementerian ini.
Puncaknya, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan kemenangan istri Menteri Yandri Susanto sebagai Bupati Serang semakin memperkeruh suasana. Putusan MK tersebut secara eksplisit menyebutkan adanya keterlibatan dan penyalahgunaan kekuasaan menteri terhadap kepala desa untuk memenangkan sang istri dalam kontestasi politik lokal tersebut.
Tak berhenti di situ, Kemendes PDT kembali menuai badai protes dari ribuan pendamping desa di seluruh Indonesia. Kali ini, kementerian yang bertanggung jawab atas pembangunan desa tersebut dituding melakukan tindakan sewenang-wenang dengan menyingkirkan tenaga ahli dan pendamping desa yang memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam Pemilihan Umum (Pileg) 2024.
Kontroversi ini bermula dari klausul yang tercantum dalam kontrak tenaga pendamping desa. Klausul tersebut berbunyi: “Pihak kesatu dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak apabila pihak kedua terbukti pernah mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, kabupaten atau kota tanpa didahului dengan pengunduran diri atau mengajukan cuti Tenaga Pendamping Profesional (TPP) saat berkontrak dengan Kemendes PDT”.
Para pendamping desa menilai bahwa frasa “pernah mencalonkan diri” dalam klausul tersebut sengaja ditujukan untuk menjerat dan mendepak mereka yang berencana maju sebagai caleg pada Pileg 2024. Padahal, sebelumnya Kemendes PDT sendiri, melalui surat resmi No 1261/HKM.10/VI/2023 yang ditandatangani langsung oleh Sekretaris Jenderal, telah memberikan pernyataan yang bertolak belakang.
Dalam surat tersebut, pada poin C, dengan tegas dinyatakan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan, baik di tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, maupun keputusan menteri yang mewajibkan TPP untuk mengundurkan diri jika ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan kabupaten atau kota.
Alasan yang dikemukakan dalam surat tersebut adalah proses rekrutmen dan perpanjangan kontrak TPP dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa. Dengan kata lain, TPP tidak memiliki status sebagai pegawai atau karyawan tetap Kemendes PDT, sehingga tidak terikat pada aturan yang mengikat Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Keputusan Kemendes PDT untuk menghentikan kontrak pendamping desa yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif sangat kontroversial dan tidak bisa diterima. Keputusan ini jelas-jelas tidak adil karena para pendamping desa tersebut tidak melanggar aturan yang berlaku. Aturan tersebut seharusnya berlaku ke depan, bukan berlaku surut,” ungkap salah seorang pendamping desa yang enggan disebutkan namanya, menyuarakan kekecewaannya.
Para pendamping desa yang terdampak oleh kebijakan ini dengan tegas menyatakan bahwa mereka telah memenuhi semua persyaratan dan tidak pernah melanggar aturan yang ditetapkan oleh Kemendes PDT. Mereka juga mengecam keputusan pemutusan kontrak sepihak tersebut sebagai tindakan diskriminatif dan melanggar hak politik mereka sebagai warga negara.
Di sisi lain, Kemendes PDT berdalih bahwa keputusan untuk menghentikan kontrak pendamping desa yang mencalonkan diri sebagai caleg diambil semata-mata untuk menjaga netralitas dan mencegah terjadinya konflik kepentingan.
Namun, argumentasi tersebut justru menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk organisasi masyarakat sipil dan lembaga swasta yang fokus pada isu demokrasi dan hak asasi manusia. Mereka menilai keputusan Kemendes PDT tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan terkesan dipaksakan.
Para pendamping desa yang merasa dirugikan oleh kebijakan kontroversial ini kompak mendesak Kemendes PDT untuk meninjau kembali dan mencabut keputusan tersebut. Mereka juga menuntut agar kontrak kerja mereka segera dipulihkan seperti sedia kala.
Kasus ini telah berkembang menjadi isu nasional yang menarik perhatian publik dan memicu perdebatan publik yang luas. Berbagai pihak, mulai dari akademisi, pengamat politik, hingga aktivis hak asasi manusia, turut menyoroti kasus ini dan mendesak Kemendes PDT untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam proses pengambilan keputusan.
Editor : Nur
Publis hed : Red



