
Korupsi bukanlah bagian dari budaya negara kita tercinta
Lamongan|Analisajatim.id, – Korupsi bukanlah bagian dari budaya negara kita tercinta, Indonesia.
Korupsi merupakan bentuk ketidaksyukuran manusia atas rezeki yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
Tindakan korupsi sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama, karena setiap agama melarang umatnya untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Dalam konteks Indonesia yang beragam, semua agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, mengajarkan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial, nilai-nilai yang berseberangan dengan praktik korupsi.
Korupsi sangat identik dengan sistem pemerintahan. Istilah “korupsi” atau “corruptio” berasal dari bahasa Latin yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, dan menyogok. Para ahli bahasa menjelaskan bahwa kata “corruption” berasal dari kata kerja “corrumpere” dalam bahasa Latin kuno.
Kata ini menggambarkan tindakan merusak, membusukkan, atau menghancurkan sesuatu yang awalnya baik dan utuh.
Dalam konteks pemerintahan, korupsi merusak tatanan, sistem, dan kepercayaan publik.
Korupsi merupakan problem terberat bagi bangsa Indonesia.
Masalah korupsi adalah fenomena kompleks yang muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari korupsi individual hingga korupsi berjamaah, dari suap-menyuap hingga gratifikasi.
Kompleksitas ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk lemahnya penegakan hukum, rendahnya kesadaran masyarakat, dan sistem politik yang rentan terhadap manipulasi.
Korupsi juga merugikan negara secara finansial dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kasus-kasus korupsi yang sering terjadi di Indonesia tidak hanya terpusat di pemerintahan pusat, tetapi juga merambah ke pemerintah daerah hingga tingkat kabupaten.
Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi masalah sistemik yang mengakar di berbagai lapisan pemerintahan. Salah satu faktor penyebabnya adalah mahalnya biaya politik, yang mendorong calon kepala daerah untuk mencari dukungan finansial dari cukong atau investor.
Hubungan timbal balik ini seringkali menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi setelah calon tersebut terpilih.
Praktik korupsi biasanya dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Para koruptor menyusun strategi dan pola kejahatan mereka dengan cermat, termasuk pembagian keuntungan yang telah disepakati.
Jarang sekali ditemukan kasus korupsi yang dilakukan sendiri (single fighter), kecuali untuk nominal yang kecil.
Biasanya, korupsi melibatkan jaringan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan mereka.
Di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, banyak kasus korupsi yang terungkap.
Hampir setiap bulan, masyarakat disuguhi berita-berita tentang korupsi, bahkan netizen di platform TikTok mencatatnya sebagai “klasmen liga korupsi Indonesia”.
Dalam “klasmen” tersebut, PT. Antam menempati posisi pertama dengan kerugian negara mencapai Rp5,9 triliun, diikuti oleh PT. Pertamina dengan kerugian negara senilai Rp968,5 triliun.
Angka-angka fantastis ini menunjukkan betapa besar kerugian negara akibat korupsi, sementara keuntungannya hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Tindakan hukum dalam kasus korupsi seringkali tidak relevan karena hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kerugian negara.
Terkadang, hukuman terasa ringan dan seolah-olah dapat diringankan dengan suap.
Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum.
Prilaku hakim yang memvonis ringan tersangka korupsi menuai banyak kritik dan memperkuat persepsi publik bahwa hukum dapat dibeli.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dinilai kurang efektif dalam memberantas korupsi.
Perlu adanya kajian ulang dan revisi terhadap undang-undang tersebut agar lebih memberikan efek jera bagi para koruptor.
Revisi tersebut harus mencakup peningkatan hukuman, perlindungan bagi pelapor korupsi (whistleblower), dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat.
Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid, atau yang dikenal sebagai Gus Dur, mantan Presiden ke-4 Republik Indonesia, pernah berkata bahwa bangsa ini penakut karena tidak berani bertindak tegas terhadap orang yang bersalah.
Pernyataan ini menjadi refleksi atas kondisi penegakan hukum di Indonesia yang seringkali terkendala oleh berbagai faktor, termasuk intervensi politik dan tekanan dari pihak-pihak tertentu.
Untuk memberantas korupsi, dibutuhkan keberanian dan komitmen dari semua pihak, mulai dari pemerintah, penegak hukum, hingga masyarakat.
Kita harus berani melawan korupsi dan menuntut keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Editor : Nur
Published : Red



