Analisajatim id,- Kabareskrim Polri Komjen Wahyu Widada mengungkapkan adanya pola korupsi di lingkungan pemerintah desa.
Menurutnya, pemerintah desa kerap mengumpulkan dana desa untuk pergi plesiran ke suatu tempat dengan dalih studi banding.
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara Badan Pembina Hukum Nasional Kemenkumham dalam tema ‘Strategi dan Sinergitas Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi’.
“Dana desa dikumpulkan untuk plesiran, untuk Seolah-olah studi banding ke suatu tempat. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan,” tegasnya, seperti dikutip dari laman resmi humas.polri.go.id, Jumat (27/10/2023)
Lebih lanjut, Wahyu mengatakan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi karena
kurangnya pemahaman para pejabat desa terkait peruntukan dana desa.
Untuk itu, Polri melalui Bhabinkamtibmas terus berupaya mendampingi di setiap penggunaan dana desa.
Wahyu menyebut, berdasarkan data milik Polri, tren tindakan korupsi makin banyak terjadi di seluruh level tingkatan pejabat publik.
Kasus korupsi terjadi mulai dari tingkatan paling bawah seperti kepala desa hingga level pemerintah seperti menteri.
Selain itu, korupsi juga terjadi di hampir seluruh sektor swasta salah satunya dalam bidang olahraga.
Wahyu mencontohkan adanya kasus match fixing dalam pertandingan sepak bola.
Menurutnya, modus korupsi semakin berkembang dan sulit terdeteksi dengan adanya perkembangan teknologi di era globalisasi ini.
Sementara itu, Wahyu juga menilai ada potensi multitafsir dari segi penegakan hukum korupsi dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan UU Nomor 1 KUHP Tahun 2023.
Kemudian terdapat pula beberapa perubahan dalam Omnibus Law Ciptaker yang merubah kepastian hukum soal korupsi.
Beberapa di antaranya terkait dasar penyidikan tindak pidana perbankan, asuransi, dan koperasi yang menjadi tidak jelas atau hilang.
Di samping itu, Wahyu menyarankan agar pemanfaatan aset hasil sitaan atau rampasan dapat digunakan untuk penguatan kapasitas satker penegak hukum.(Red))