Analisajatim.id | Blora – Proses pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Karangnongko sudah memasuki tahap ketiga, yaitu pelaksanaan berupa pembebasan lahan bagi warga yang terdampak. Pembangunan Bendungan Karangnongko telah dimulai sejak tahun 2023 dan ditargetkan selesai pada akhir tahun 2026.
Proyek pembangunan bendungan Karangnongko ini berlokasi di dua wilayah administratif, yaitu Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah dan Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Untuk wilayah Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora terdapat 5 desa yang terdampak, yaitu Desa Mendenrejo, Ngrawoh, Nginggil, Megeri dan Nglebak.
Kepala Kantor Pertanahan Blora, Jaka Pramono menyampaikan, penentuan lokasi (penlok) pembangunan bendungan Karangnongko di wilayah Blora membutuhkan lahan ratusan hektar.
“Seluruhnya ada 390 Ha yang dibutuhkan untuk di dalam penlok yang khusus di kabupaten Blora. Terdiri dari dua kategori, tanah masyarakat kurang lebih 190 hektar dan kategori khusus yaitu tanah milik instansi pemerintah, seperti TKD (tanah kas desa), wakaf, perhutani, seluas 200 hektar,” ujarnya usai Sosialisasi Pengadaan Tanah PSN Pembangunan Bendungan Karangnongko di Desa Nglebak, Kecamatan Kradenan, Blora, Rabu (30/7).
Jaka menjelaskan, untuk pembebasan kategori khusus sudah diselesaikan oleh BBWS sendiri. Sedang untuk tanah masyarakat, prosesnya harus diberikan ganti rugi dengan melalui tahapan-tahapannya, mulai dari sosialisasi, identifikasi dan inventarisasi objek,
Dari lima desa di Blora yang terdampak, lanjutnya, tanah masyarakat yang paling terdampak yaitu Desa Nglebak. Rinciannya yaitu, Desa Mendenrejo luas 3,9 Ha atau 13 bidang, Ngrawoh ada 46 Ha atau 285 bidang, Nginggil ada 31,55 Ha atau 159 bidang, Nglebak ada 65,12 Ha atau 309 bidang, dan Megeri ada 36 Ha atau 138 bidang.
“Jadi, jumlah total ada 905 bidang tanah masyarakat yang akan dilakukan pembayaran ganti kerugian yang nanti kami jadwalkan terakhir adalah pertengahan Desember 2025,” ucapnya.
Adapun persyaratan ganti untung ini, masyarakat yang terdampak harus melengkapi berkas atau dokumennya, seperti sertifikat hak milik (SHM), fotocopy KTP dan KK, surat keterangan jual beli atau asal usul tanah, materai 10 ribu sebanyak 5 lembar untuk satu bidang, dan lainnya.
“Kalau gak punya (SHM) harus yang ada letter C, kalau tidak bisa menunjukkannya berarti statusnya tanah negara. Kalau tanah tersebut dari warisan orang tua, seluruh ahli waris harus bertanda tangan dan tidak boleh diwakilkan, apalagi diklaim atas nama satu orang tidak boleh. Itu pun harus dibuktikan dengan surat keterangan waris yang dibuat oleh desa, yang (membuat) pernyataan dia, kemudian disahkan oleh (pemerintah) Kecamatan, karena tidak boleh ada ahli waris yang tertinggal,” terangnya.
Selanjutnya, petugas akan mengukur objek tanah beserta tanaman atau bangunan di atas tanah masyarakat yang terdampak untuk ditentukan nilai ganti untungnya.
“Nanti yang melakukan penilaian pihak independen, yaitu penilai publik yang mempunyai keahlian dan lisensi dari kementerian keuangan. Pemerintah atau masyarakat tidak bisa mempengaruhi nilai yang disajikannya. Apakah ini nilainya berapa angkanya permeter, berapa juga ganti rugi bangunan atau tanaman di atasnya jika ada dan itu per bidang tidak dipukul rata (nilainya), karena dia juga bertanggung jawab secara hukum atas nilai yang disajikannya,” tandas Jaka.
Sementara itu, Kepala Desa Nglebak, Eko Puryono mengatakan, warganya terdapat 236 KK yang terdampak pembangunan proyek tersebut. Mereka dari Dusun Nglebak, Ngandong, dan Plumbon.
“Paling banyak warga dusun Nglebak yang terdampak. Perjanjiannya dulu, warga sepakat terima ganti untung,” kata Eko.
Sedang di Desa Megeri, terdapat sekitar 138 KK warga yang terdampak.
“Mereka dari dusun Sembungan, Setren, dan Megeri. Alhamdulillah tidak sampai pindah rumah,” kata Sekretaris Desa Megeri, Surip. (Jay)



