Analisajatim.id | Blora – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora telah menghentikan sementara operasional dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) setelah kasus dugaan keracunan makanan massal menimpa ratusan siswa beberapa sekolah di Blora. Atas kejadian tersebut, Pemkab Blora juga menetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Untuk SPPG bersangkutan dihentikan sementara. Per tanggal 28 November, sampai hasil dinyatakan lab keluar. Penetapan ini dilakukan setelah Pemerintah Kabupaten Blora menerima surat resmi dari Badan Gizi Nasional menyusul tingginya jumlah siswa yang terdampak,” ujar Wakil Bupati Blora, Sri Setyorini, Kamis (27/11/2025).
Kasus ini terjadi pada Selasa (25/11) ketika lebih dari 100 siswa mengalami gejala mual, muntah, dan diare setelah menyantap menu makan bergizi gratis (MBG). Penyedia makanan MBG, Satuan Pelayanan Pengolahan Gizi (SPPG) Karangjati 1 Blora, telah menerima surat penghentian operasional sementara.
Sri Setyorini menekankan bahwa program MBG pada dasarnya masih sangat dibutuhkan oleh para siswa di Blora, namun dengan pengawasan ketat.
“Setelah berkunjung ke DKT, saya melihat bahwa MBG ini diinginkan untuk berlanjut oleh siswa yang memang membutuhkan. Namun, setiap ada laporan berkaitan dengan MBG, kami selaku satgas selalu kami evaluasi, kemudian tindaklanjuti ke provinsi,” ujarnya.
Nur Betsia Bertawati, Sekretaris Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten Blora, memberikan data terbaru mengenai dampak kesehatan yang dialami para siswa dan menjelaskan progres penyelidikan yang dilakukan Dinkesda.
“Saat ini, 122 siswa telah ditangani, dengan 117 siswa menjalani rawat jalan dan 5 siswa dirawat inap. Yang masih dirawat inap ada 2 pasien di RS. DKT dan 1 pasien di RSUD dr. Soetijono Blora. Kondisi mereka baik dan mudah-mudahan nantinya bisa pulang,” jelasnya.
Ia menjelaskan tim juga melakukan penyelidikan epidemiologi untuk mengetahui penyebab pasti kejadian tersebut. Pemeriksaan dilakukan mulai dari dapur penyedia makanan MBG, meliputi dokumen akreditasi dapur, sertifikat laik higiene dan sanitasi, SOP pengolahan makanan, kebersihan peralatan, proses pengolahan, penyajian dan distribusi makanan ke sekolah.
“Sertifikat laik higiene sanitasi dan SOP sebenarnya sudah ada, meski belum seluruhnya terpasang. Kami juga melakukan investigasi langsung mulai dari proses pengolahan hingga distribusi makanan,” jelasnya.
Pemerintah daerah bersama tim gabungan melakukan investigasi lapangan untuk mengetahui penyebab pasti kejadian tersebut. Hasil laboratorium mikrobiologi masih dalam proses Labkes di Semarang. (Jay)

















