Lamongan|Analisajatim.id,-
Pendidikan bukan semata-mata tentang kepatuhan seorang anak dalam menerima pengetahuan.
Pendidikan mencakup aspek-aspek yang fundamental, perkembangan pengetahuan, pembentukan kepribadian, karakter, kecerdasan, dan rekonstruksi kerangka berpikir.
Aspek-aspek ini saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan yang utuh dalam proses pendidikan.
Perkembangan pengetahuan tidak hanya berarti menambah informasi, tetapi juga kemampuan untuk mengolah informasi tersebut menjadi pengetahuan yang bermanfaat.
Pembentukan kepribadian mencakup pengembangan nilai-nilai moral, etika, dan sikap positif terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Karakter yang kuat akan membentuk individu yang tangguh, bertanggung jawab, dan berintegritas.
Kecerdasan tidak hanya diukur dari kemampuan akademik, tetapi juga kecerdasan emosional dan sosial.
Rekonstruksi kerangka berpikir memungkinkan individu untuk menganalisis informasi secara kritis, memecahkan masalah secara kreatif, dan beradaptasi dengan perubahan.
Dengan demikian, pikiran seorang anak dapat berkembang dengan imajinasi yang positif dan konstruktif, menghasilkan ide-ide baru dan solusi inovatif.
Premis-premis pendidikan diajarkan sejak dini, dimulai ketika seorang anak memasuki ruang kelas dan mendengarkan apa yang diajarkan oleh pendidik.
Proses ini merupakan langkah awal dalam membentuk fondasi pengetahuan dan karakter anak. Pendidikan, atau edukasi (bahasa Belanda: educatie, bahasa Latin ēducātiō), merupakan proses panjang yang berkelanjutan dan membutuhkan kerjasama antara pendidik, anak didik, dan lingkungan.
Di era ini, pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mentransformasi siswa menjadi individu yang teladan, disiplin, berakhlak baik, beretika dalam berkomunikasi, dan memiliki kemampuan berpikir kritis.
Banyak siswa yang diberi ilmu pengetahuan tanpa dibekali logika dan pemahaman yang mendalam tentang ilmu tersebut.
Hal ini mengakibatkan siswa hanya menghafal informasi tanpa mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya, seorang pendidik menyuruh muridnya menggambar tanpa menjelaskan teori dasar menggambar.
Seharusnya, pendidik memberikan penjelasan seperti, “Nak, kalau menggambar, teorinya dimulai dari membuat ini dulu…”.
Pendekatan ini akan membantu siswa memahami konsep dasar menggambar dan mengembangkan kemampuan mereka secara lebih efektif.
Pendidikan filsafat seharusnya diajarkan kepada siswa SMA, tidak hanya di perguruan tinggi.
Di Prancis, sekolah SMA Lycee sudah mengajarkan filsafat kepada siswanya.
Hal ini penting untuk melatih anak-anak berpikir kritis dan menganalisis isu-isu kompleks.
Dengan mempelajari filsafat, siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kritis, yang akan bermanfaat dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks pendidikan, seorang pendidik sejati berkewajiban berperan lebih proaktif daripada sekadar pengajar yang “tersubsidi setiap bulan oleh negara”. Ia berfungsi sebagai katalisator transformasi intelektual dan spiritual siswa.
Dengan mengorbankan waktu dan energinya, pendidik membimbing siswa keluar dari kebodohan menuju pencerahan.
Pendidik sejati tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menginspirasi dan memotivasi siswa untuk belajar dan berkembang.
Model ini sejalan dengan teori
konstruktivisme, di mana peran pendidik adalah membangkitkan potensi siswa melalui pengalaman ke ya hj hj hj avavng bermakna. Pendidik berperan,,,,.,.. seperti obor yang menerangi jalan menuju pengetahuan, membimbing siswa untuk menemukan dan membangun pemahaman mereka sendiri.
Pendidikan seharusnya menjadi lahan yang subur, seperti tanah di negara ini, tempat kecerdasan dan ide-ide tumbuh dan berkembang. Namun, sistem pendidikan saat ini sering kali berubah menjadi pabrik produksi manusia yang hanya menghasilkan individu-individu tak berdaya. Mereka yang keluar dari sistem ini sering kali seperti robot berbahan bakar uang, kehilangan jiwa dan akal sehat. Dalam konteks ini, pendidikan bukan lagi alat untuk pencerahan, tetapi mesin yang membentuk ketaatan dan kepatuhan.
Seorang siswa yang terlalu banyak bermain ponsel, bermain game, atau scrolling TikTok dapat mengurangi semangat belajarnya. Hal ini juga berdampak buruk, seperti gangguan penglihatan, text neck syndrome, trigger thumb, dan gangguan tidur. Pendidik perlu menyampaikan dan mendisiplinkan siswa dengan bijak mengenai batasan penggunaan gadget.
Di media sosial, terdapat fenomena menarik di mana seseorang bisa terkenal tanpa memiliki sesuatu yang berarti untuk disampaikan. Prestasi ini, meskipun tampak remeh, menunjukkan betapa gemerlapnya permukaan dunia digital, di mana perhatian sering kali didapat bukan karena kebijaksanaan atau wawasan, melainkan kemampuan memikat dan menarik perhatian tanpa memberikan kontribusi yang berarti. Hal ini mencerminkan pergeseran nilai di era digital, di mana popularitas sering kali lebih dihargai daripada substansi. Pendidik perlu membimbing siswa untuk bijak dalam menggunakan media sosial dan mengarahkan mereka untuk fokus pada pengembangan diri dan kontribusi positif bagi masyarakat.
Editor : Mastono S.pd
Published : Red



