Mojokerto|analisajatim.id – Di tengah lonjakan harga beras yang mencapai Rp15.000 per kilogram di pasar tradisional Kabupaten Mojokerto, Dinas Pangan dan Perikanan (Dispari) setempat menuai kritik tajam. Stok beras cadangan milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto yang disimpan di gudang Bulog justru terkesan mengendap tanpa dimanfaatkan untuk meredam gejolak harga di masyarakat, meskipun regulasi daerah mewajibkan pemanfaatan optimal.
Berdasarkan Pasal 16 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan, stok beras cadangan pemerintah daerah tidak boleh disimpan lebih dari empat bulan untuk menjaga kualitas dan ketersediaan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa stok beras Pemkab Mojokerto telah melewati batas waktu tersebut. Selain itu, mekanisme teknis pengelolaan dan distribusi cadangan beras belum diatur secara rinci melalui Peraturan Bupati (Perbup), yang seharusnya menjadi panduan operasional.
Kondisi ini memicu pertanyaan besar, Mengapa Pemkab Mojokerto tidak segera mendistribusikan beras murah ke masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 Perda Nomor 10 Tahun 2021? Pasal tersebut menekankan bahwa cadangan pangan harus digunakan untuk stabilisasi harga, terutama saat terjadi anomali pasar atau bencana.
“Kenapa harus menunggu bantuan beras dari program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) nasional? Padahal, Pemda sendiri punya stok beras cadangan yang bisa segera disalurkan, bukan ditumpuk di gudang hingga melewati batas simpan,” kata seorang pemerhati pangan di Mojokerto yang enggan disebutkan namanya.
Ia juga menyoroti risiko penyimpanan jangka panjang. “Jika terlalu lama disimpan, beras berpotensi rusak atau busuk. Kalau alasannya stok selalu fresh, jangan-jangan yang dimaksud bukan beras fisik, tapi dana APBD yang dialokasikan untuk pembelian melalui Bulog,” tambahnya dengan nada prihatin.
Sementara itu, gudang Bulog di Mojokerto dikabarkan sudah penuh dan stok beras Pemkab bercampur dengan milik Bulog pusat, yang berpotensi menimbulkan masalah administrasi hingga kerugian finansial.
Hingga kini, Pemkab Mojokerto belum memberikan penjelasan resmi terkait keberadaan Perbup pengelolaan cadangan beras. Tanpa regulasi pendukung yang jelas, anggaran tahunan untuk cadangan pangan terkesan sia-sia, sementara masyarakat terus terbebani harga beras yang tinggi. Publik berharap adanya transparansi dan langkah konkret dari pemerintah daerah untuk memastikan cadangan pangan benar-benar bermanfaat bagi rakyat. (dian)



